Minggu, Februari 21

Spongebob & Squidward

Pernah menonton Spongebob the Movie? Dimana dikisahkan Mr Crabs membuka cabang dari Crabby Patty, dan Spongebob sudah merasa sangat yakin bahwa dialah yang akan menjadi manager dari cabang Krabby Patty 2. Keyakinannya itu beralasan, karena setiap bulan Spongebob selalu menjadi pegawai terbaik, motivasi dan dedikasinya penuh terhadap restoran tersebut.

Namun saat hari grand opening, Mr Crabs mengumumkan bahwa yang menjadi manager adalah Squidward sang gurita. Padahal Squidward adalah seorang yang apatis dan Yes Bos saja.

Saya tersenyum kalau mengingat seri itu, namun hari-hari ini saya merasa kalau saya seperti halnya Spongebob dalam seri diatas (thats why everybody loves Spongebob). Selalu saja ada orang lain seperti Squidward yang tidak capable yang terpilih, dan kita terlewatkan terpaksa harus mengikuti kemauan pemimpin.

Flashback ke masa kecil. Saat remaja, saya begitu menyukai Pramuka. Saya adalah pembaca puisi dan penerjemah sandi terbaik. Namun saat sekolah saya membentuk tim berisi 20 orang untuk mengikuti jambore provinsi, saya tidak terpilih. Guru saya hanya memilih anak-anak yang "kelihatan cakap dan meyakinkan". Alhasil team sekolah kami pulang tidak membawa satupun medali dari belasan medali yang disediakan. Kalau saya ikut, saya percaya, hasilnya akan berbeda.

Saya baru menyadari sekarang, kalau pola ini terus berulang sepanjang kehidupan saya. Saya selalu menjadi Spongebob yang tersisihkan, dan selalu ada orang lain sebagai Squidward yang terpilih. Membawa saya pada sebuah renungan, mengapa mereka tidak memilih kita?


Mengapa kita tidak dipilih?

Saat Samuel berusaha memilih mana orang yang akan diurapinya dari anak-anak Isai, dia juga memakai standar "kelihatannya". Dengan standar itu Daud yang kecil dan terabai pasti tidak terpilih, dan sejarah Irael akan menjadi berbeda. Tapi untung saja Tuhan tidak memakai standar yang sama.

Masalahnya sekarang kita menggantungkan dunia ini pada orang-orang yang memilih dari "kelihatannya" saja.

Untuk itu kita harus berusaha memantaskan diri agar "kelihatannya" cakap dan terpilih.. Masalah lain muncul yaitu saat kita fokus berusaha "kelihatan pantas" kita cenderung menjadi "Tong kosong nyaring bunyinya".

Hanya saja, kita memang tidak memiliki jalan lain dalam masalah ini, satu-satunya jalan adalah kita harus berupaya dengan segala cara memantaskan diri, baik luar maupun isinya. Dan melupakan kesombongan terpendam, membiarkan para pemimpin berusaha menemukan emas yang terpendam dalam diri kita. Mereka tidak akan pernah menemukannya.

Kita memang tidak punya pilihan selain terjun dalam kompetisi "kelihatan pantas" yang sungguh menyakitkan nurani ini. Tapi hanya itulah jalannya, sebuah kompetisi sekaligus pembentukan, yang memiliki mental terbaik, dan yang menunjukan kematangan dan kedewasannyalah yang menang.

Namun sebuah pertanyaan lain mengelitik saya.

Perasaan kita bahwa kita pantas seringkali menjadi bumerang bagi kita.

Bagaimana kalau Tuhan sendiri yang harus memilih?

Apakah IA akan menemukan kita pantas?

0 comments: