Selasa, Agustus 25

Sony Alpha 2000 & Perbandingannya

Saatnya membeli Camera DSLR yang baru, setelah bertahun-tahun menggunakan Canon EOS 350D, hal itu membuat agama saya menjadi Canonian. Dan sesuai dengan bujet saya dipasar DSLR entry level tersedia, 4 kamera yaitu Canon EOS 1000D, Nikon D40, Sony Alpha 200, dan Olympus E420.

Kalau mau bertanya pada para temen fotografer, sangat nggak obyektif, mereka langsung merekomendasikan agama mereka masing-masing. Terutama para Canonian, Nikonian, dan Olympusan (Tidak ada yang bakal merekomendasi Sony). Namun saya terbiasa berpikir kritis dan harus memilih sendiri, maunya sih suara hati langsung membeli Canon, namun saya harus menepiskannya karena agama camera itu racun banget, jadi fanatik dan sempit pandangannya.

Proses Eliminasi
Kita mulai menyingkirkan daftar 4 Camera diatas. Pertama saya langsung mencoret Olympus E420, dukungan lensa yang sedikit, pengalaman saya memakai Olympus hasil yang over contrast, dan kitnya hanya mendapat yang 14-42mm. Mau foto apa dengan lensa standarnya seperti itu? Macro bunga doang? Jadi segera saya coret, dengan beberapa pertimbangan lainnya.

Kamera kedua yang saya coret adalah Nikon D40. Nikon memang harus saya akui memberikan komposisi warna terbaik dari semua DSLR yang ada, warnanya paling hangat. Namun penyakit DSLR Nikon demi mendapatkan kehangatan ini seringkali menjadi Over Exposure, sehingga kita kehilangan detail dari gambar. Dalam pekerjaan saya di majalah, detail lebih penting dari komposisi warna. Kita bisa mengatur kompososi warna dengan Photoshop, tapi kita tidak bisa mendapatkan detail dengan Photoshop. Lagipula saat saya membeli EOS 350 dulu, D40 juga memang sudah dikalahkan oleh 350D, sehingga produk ini sudah ketuaan feature-nya. Untuk mengambil yang D60 atau D90, bujet tidak memungkinkan, jadi sorry Nikonian, ini terpaksa saya coret.

Sekarang tinggal tersisa dua, Canon EOS 1000D atau Sony Alpha 200.

Ini bagian yang paling pelik dan berat untuk saya.
Kecintaan saya pada Canon? Atau kelebihan feature Alpha 200?

Sony Alpha 200 VS Canon EOS 1000D
Mari kita lihat dari penampilan awalnya. 1000D lebih kecil dari pendahulunya 350D, ditambah dia satu-satunya dalam jajaran DSLR yang menggunakan Liveview, mirip dengan camdig poket. Hal ini walaupun sebuah keuntungan, karena kita bisa melihat lcd kalau kelelahan mengintip di viewfinder, namun bagi saya kerugian. Kenapa, karena kamera ini menjadi terlihat camera prosumer daripada DSLR. Ditambah akan merugikan kalau kita jadi terbiasa menggunakan lcd, even a dummies can use this camera! Dimana kesan pro-nya?

Dari penampilan Alpha 200, terlihat lebih besar, dia memang paling besar dan paling berat dari para kompetitor sekelasnya, jadi terlihat lebih sangar, keren juga. Berat Camera akan berpengaruh pada kestabilan kita memegang camera tersebut, lebih berat akan lebih stabil memegangnya daripada yang ringan, asal tidak terlampau berat. Pada backpanelnya, sebuah switch bernama Super Steadyshot terlihat jelas mencolok, sangat berbeda dari tiga kompetitornya yang terlihat mirip featurenya. Super Steady shot adalah fasilitas untuk meredam gerakan atau goncangan tangan kita saat memotret. Well dalam pengalaman saya, fasilitas seperti ini memang penting banget kalau kita gak bisa bawa tripod kemana-mana. Karena banyak momen penting ngeblur, shadowing, atau ghost effect gara-gara tangan kita gak bisa stabil. dengan fasilitas ini dijamin bisa ngurangin efek tersebut karena getaran tangan kita, bukan karena objectnya yang goyang loh...

Kemudian lihat lens kit-nya, wow Alpha 200 memberi 18-70mm, daripada standard Canon hanya memberi kit 18-55mm. Itu artinya saya bisa membuat close up yang lebih baik dengan Sony. Dan lensa adalah nilai yang sangat mahal bagi sebuah kamera.

Sekarang lihat spec, hmmm semua mirip, kecuali iso Alpha 200 lebih besar yaitu 3200. Gak begitu percaya sih sama ISO segede gitu, karena pasti Noisenya juga gede, kenapa Canon lock ISOnya di 1600 karena dia gak mau hasilnya jadi jelek gara-gara Noise. Namun dalam pengalaman, saya seringkali ada dalam situasi tidak dapat mengambil gambar karena gerakan object yang ekstrim dan pencahayaan yang sangat rendah. Hal itu membuat saya berandai-andai, andai ISO saya lebih tinggi, gak apa-apa deh noise, yang penting image penting itu bisa diabadikan.

Image Quality
Oke, sekarang kita bicara hal paling sensitif, yang diributkan para fanatisme masing2 kamera, yaitu soal kualitas image. Beberapa fotografer pernah membandingkan hasil jepret Sony Alpha 200 dengan Nikon D300 dari level pro (diatas 20jtan), dan mereka terkejut kalau ternyata hasil Sony Alpha lebih baik hampir dalam semua hal, terutama detail dan ketepatan pencahayaan. (lihat linknya dibawah)

Untuk perbandingan dengan Canon, ooh, betapa saya begitu mencintai hasil image Canon EOS dengan prosesor DIGIC-nya itu, saya menjadi fans hasil gambar Canon begitu lama. Kelembutan dan halus imagenya paling baik disemua jajaran DSLR, memberi suasana sangat mendalam dan mempesona kita bermenit-menit dalam memandangi hasil foto yang kita jepret.

Namun sebagai pengagum dan pecinta Canon EOS, mari saya buka kelemahannya. Dibalik keindahannya ini, gambar yang dihasilkan Canon akan menjadi pucat saat daylight atau outdoor. Kalau Nikon terkenal dengan kelemahannya over exposure, maka Canon terkenal dengan pucatnya hasil outdor daylight. Satu lagi, didalam dunia saya dimana hasil foto tersebut untuk dicetak dalam majalah, hasil Canon menjadi sangat teredam dalam dunia cetakan. Kita sering kecewa melihat hasil Canon dalam cetakan. Sehingga kita harus menaikan komposisi warnanya dengan ekstrim agar terlihat baik dalam produk cetakan.


2 Last Chalenge
Keputusan terakhir, kamera yang aku beli harus bisa melewati 2 hal yang paling sulit bagiku dalam fotografi. Pertama adalah memotret orang dipantai pada daylight dengan latar laut yang luas dibelakangnya. Kedua adalah low light indoor.

Pertama gak tahu kenapa orang seneng banget foto dipantai pada hari yang sedang panas, alhasil semua camera yang aku coba sebelumnya ambrol semua kualitasnya menghadapi tantangan ini. Ada yang over exposure, object orangnya kelihatan namun selain itu putih semua, warna awan dan laut gak keliatan, atau sebaliknya background baik tapi wajah jadi gelap. Nah, pada Sony Alpha 2000, ada fasilitas yang bisa membantu nama featurenya D-Range Optimizer (DRO). Bisa diatur level DRO yang kita pakai. jadi DRO membantu saat background disekeliling object over brigth, sehingga menimpa cahaya object utama dan membuat object utama menjadi gelap hasilnya, seperti pada saat memotret di pantai atau salju.

Hal kedua soal low light dan extreme movement, dengan ISO 3200, Sony Alpha menang (dengan konsekuensi noise tentunya). Sehingga dengan dua ujian terakhir itu aku memutuskan membeli Sony Alpha 200, ditengah teriakan para teman2 Canonian yang marah dengan keputusanku. Sory my friend aku harus mengkhianati kepercayaan kalian, aku harus berpikir lebih kritis sesuai dengan kebutuhanku, walaupun tidak mendapat dukungan pinjaman lensa dari kalian. (Lagian juga gak pernah berhasil minjem lensa tuh sama temen Canonian, mereka lebih sayang lensanya daripada istrinya.)

Experience
Oke sekarang, sedikit pengalaman menjajal Sony Alpha 200.
Langsung test bawa jalan di Ancol, penasaran dengan pantai yang sangat sulit ditaklukan. Wow, ternyata feature DRO-nya memang sangat membantu dan membuat perbedaan signifikan. Habis itu langsung jajal di Dufan ditambah temannya lensa Minolta 70-210mm. Siapa bilang cari lensa Sony susah dan mahal, cuman dalam waktu satu hari setelah beli si Alpha aku langsung mendapatkan lensa Minolta second yang juga cocok dengan si Alpha dengan harga dibawah satu juta, masih nego lagi. Dapet info kalau Sony Alpha satu2nya DSLR yang bisa mengadopsi lensa kamera jenis lain, dalam hal ini Minolta. Siapa bilang juga lensa-lensa Sony jelek, menurut info lensa terbaik didunia adalah Carl Zeiss dan itu hanya cocok dengan DSLR Sony.

Oke balik lagi ke-Dufan, jajal sodara yang naik wahana2 dengan gerakan ekstrim seperti Ontang-anting, Halilintar, dan Tornado, dan tantangannya kita harus tetap close-up, sambil moncong lensa mengikuti manuver2 wahana2 tersebut. Hasilnya wow... saya gak mau balik lagi ke Canon.

Jajal foto dalam 2 hari dari pagi sampe malam berturut turut berbagai acara, dari jalan-jalan Ancol, Dufan, acara keluarga, temen2 di kantor, peliputan langsung ke lapangan dan sesi foto studio, pada 2 hari berturut-turut itu dengan sekitar 900 shot pada malam harinya masih ada 25% kekuatan baterenya. Menakjubkan, artinya saya gak perlu beli batere cadangan, bener juga reviewnya kalau baterenya terkuat dikelasnya.

Satu lagi yang mengagumkan saya, adalah prosesor BIONZ yang dimiliki Sony menyamai DIGIC milik Canon dalam cara yang berbeda. Dengan fasilitas Creative Style Setting, anda bisa membuat hasil foto anda lembut seperti Canon atau hangat seperti Nikon. Walau tentu tidak sampai persis seperti pesona aslinya tentunya. Namun dengan Creative Style Setting, anda bisa menambahkan efek2 kamera langsung dikameranya.

Kamera ini ternyata mendapatkan penghargaan sebagai Camera DSLR entry level terbaik tahun 2008 menurut majalah-majalah fotografi digital luar negeri. Ada link (lihat dibawah) yang membandingkannya dengan EOS Rebel Xti (nama lain 1000D). Memang terlihat Alpha unggul dalam hampir semua hal, kecuali Noise. Namun ketajaman detailnya jauh lebih baik dari Canon EOS, ia menangkap garis2 tipis dan detail2 kecil yang tidak bisa ditangkap EOS. Anda bisa menghilangkan noise dengan banyak software yang ada sekarang, tapi anda tidak bisa mendapat detail, itu yang pasti.

Masih sedikit yang saya coba jajal dengan Camera ini,
dan masih banyak yang ingin saya sampaikan disini (tapi gak sempet),
yang jelas saya mulai jatuh cinta dengan Sony Alpha 200.

Start to Proud to be Alpharian.....


Perbandingan Sony Alpha 200 dengan Canon EOS :
http://www.imaging-resource.com/PRODS/AA200/AA200A.HTM

Perbandingan hasil foto Sony Alpha 200 dengan Nikon D300
http://www.fotografer.net/isi/forum/topik.php?id=3193989295&p=1

0 comments: